Sabtu, 27 Juli 2024
 
Muhamin
Kisah Hamnah, Seorang Perempuan Pembawa Bendera Perang di Masa Rasulullah

Selasa, 24/01/2017 - 02:41:28 WIB
Di masa awal hijrah dari Makkah ke Madinah, kaum Muslimin setidaknya menghadapi dua perang besar yakni Perang Badar dan Perang Uhud.

Berbeda saat Perang Badar kala kaum Muslimin meraih kemenangan, kaum Muslimin mengalami kekalahan di Perang Uhud. Kekalahan ini terjadi lantaran ada sejumlah pasukan kaum Muslimin yang tidak menaati perintah Rasulullah SAW.

Perang yang terjadi pada 7 Syawal 3 Hijriyah itu juga meninggalkan duka yang mendalam bagi kaum Muslimin. Rasulullah SAW terluka parah dan sejumlah sahabat mati syahid dalam peperangan tersebut.

Menurut sejumlah riwayat, dari sembilan sahabat Nabi Muhammad SAW, tujuh orang mati syahid. Bahkan, dalam riwayat Bukhari disebutkan, yang tersisa hanya Talhah bin Ubai dillah dan Saad bin Abi Waqash.

Kabar duka cita juga menimpa salah satu sahabiyah, Hamnah binti Jahsy. Tidak tanggung-tanggung, Hamnah harus kehilangan suami, saudara laki-laki, dan paman dalam pertempuran di Bukit Uhud tersebut.

Berbekal keimanan, Hamnah pun akhirnya rela dan ikhlas menerima kepergian tiga orang yang dicintainya tersebut demi menegakkan panji-panji Islam.

Hamnah adalah salah satu perempuan yang masuk Islam pada masa awal dakwah di Makkah. Seperti saudaranya, Zainab dan Abdullah, dia termasuk wanita yang berbaiat kepada Rasulullah SAW dan menerima risalah Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Hamnah binti Jahsy memiliki nama lengkap Hamnah binti Jahsy bin Riab bin Yamur bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanm bin Dudan bin Asad Al-Asadiyah. Dia berasal dari Bani Asad bin Khuzaimah. Dia adalah saudara perempuan dari istri Rasulullah SAW, Zainah binti Jahsy.

Selain sebagai ipar Rasulullah SAW, Hamnah juga merupakan sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ibu Hamnah adalah Umaimah binti Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, yang merupakan bibi dari Rasulullah SAW.

Selain Zainah, Hamnah memiliki saudara, Abdullah bin Jahsy dan Ummu Habibah, istri dari Abdurrahman bin Auf. Hamnah menikah dengan Mushab bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Abdid Dar, yang tercatat sebagai duta pertama Islam. Dari pernikahan ini, Hamnah dikaruniai seorang putri.

Keimanan yang sudah terpatri di dada Hamnah pun kian terasah saat ikut hijrah ke Madinah. Pun saat ada muncul panggilan perang untuk membela Islam, termasuk di Perang Uhud.

Bersama sang suami, Hamnah terjun langsung ke medan pertempuran. Hamnah dan 13 sahabiyah lainnya bertugas untuk memberikan minum dan mengobati tentara-tentara kaum Muslim yang terluka.

Keterlibatan Hamnah di Perang Uhud pun diperkuat oleh kesaksian seorang sahabat bernama Muawiyah bin Ubaidullah bin Abi Ahmad bin Jahsy yang berkata, "Saya melihat dengan kedua mata saya, Hamnah binti Jahsy memberikan air minum pada orang-orang yang kehausan dan mengobati orang-orang yang terluka".

Namun, pasca-Perang Uhud, Hamnah didera kesedihan yang sangat mendalam.

Saat perang usai, banyak keluarga kaum Muslimin yang menanyakan soal nasib-nasib saudara-saudaranya yang ikut berperang, tidak terkecuali Hamnah.

Pada saat Hamnah datang, Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi saudaramu, Abdullah bin Jahsy".
Mendengar perkataan Rasulullah SAW ini, Hamnah berujar, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiun dan semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosanya". Pada saat itu, kondisi jenazah Abdullah ditemukan sudah tidak utuh lagi.

Rasulullah kemudian berkata, "Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi pamanmu, Hamzah bin Abdil Muththalib". Hamnah pun kembali memanjatkan doa yang sama, kali ini untuk pamannya. Hati Hamnah kembali teriris saat melihat kondisi jenazah pamannya. Tubuh Hamzah ditemukan sudah dalam kondisi tercabi-cabik.

Kemudian, Rasulullah SAW kembali berkata kepada Hamnah, "Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi suamimu, Mushab bin Umair". Namun, Hamnah sudah tidak dapat menahan kepedihan di hatinya. Saat sang suami meninggal dunia sebagai syahid di medan perang, Hamnah pun teringat putrinya, yang saat itu menjadi yatim. Terlebih dengan kondisi jenazan Mushab yang mengenaskan.

Pada saat itu, kedua tangan Mushab sudah terpotong. Dalam peperangan, Mushab memang ditugaskan sebagai pembawa bendera perang.

Saat perang, tangan kanan Mushab terpotong. Tidak ingin bendera perang terjatuh, Mushab memindahkan bendera perang ke tangan kirinya. Tapi, musuh juga menebas tangan kirinya. Alhasil, Mushab berlutut dan tetap menahan bendera tersebut di antara dada dan dagunya. Mushab ditemukan dalam kondisi meninggal dunia dan dengan posisi seperti itu.

Kehilangan tiga orang yang dicintai pada saat bersamaan tentu menjadi cobaan yang sangat besar untuk Hamnah. Namun, Hamnah tetap tegar, ikhlas, dan menerima semua cobaan itu dengan bersabar.

Hamnah pun sadar jika dia sabar dan ridha dalam menghadapi cobaan tersebut, cobaan itu justru akan menaikkan kemulian dirinya di hadapan Allah SWT.

Hamnah akhirnya hidup bersama putri satu-satunya. Hingga suatu saat salah satu sahabat, Thalhah bin Ubaidillah, meminangnya. Hamnah pun akhirnya menikah dengan Thalhah dan dikaruniai dua orang putra, Muhammad dan Imran.

Selain dikenal karena kesabarannya, Hamnah juga meriwayatkan hadis tentang aturan beribadah kepada perempuan yang mengalami darah istihadlah (darah penyakit yang keluar setelah selesai masa haid).

Hadis ini seperti diriwayatkan HR Ahmad No.26203. Telah menceritakan kepada kami (Yazid bin Harun) berkata, telah mengabarkan kepada kami (Syarik bin Abdullah) dari (Abdullah bin Muhammad bin Aqil) dari (Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah) dari pamannya (Imran bin Thalhah) dari ibunya (Hamnah binti Jahsi), bahwa dia mengeluarkan darah Istihadlah.

Kemudian dia menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW dengan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang istihadlah dengan mengeluarkan darah yang deras?".

Maka, Rasulullah bersabda kepadanya, "Balutlah dengan kapas". Hamnah berkata, "Bahkan, darahnya lebih dari itu, sesungguhnya ia keluar dengan deras".

Rasulullah kemudian bersabda, "Balutlah tempat keluarnya darah dengan kapas, dan tetapkanlah masa haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah. Kemudian hendaklah kamu mandi lalu laksanakanlah shalat dan puasa yang dua puluh tiga atau dua puluh empat harinya. Kemudian kamu mandi dan shalat dengan mengakhirkan shalat zhuhur dan menyegerakan shalat ashar, lalu kamu mandi lagi untuk mengerjakan shalat dengan mengakhirkan shalat Maghrib dan menyegerakan shalat Isya dengan satu kali mandi". Kemudian, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Dan, ini adalah dua hal yang paling mengagumkan bagiku". (re)




sumber: republika.co.id





Opini Lainnya :
 
  • Energi Kebersamaan, PHR Donasikan Sejumlah Alkes untuk Puskesmas di Rumbai
  • Kisah Hamnah, Seorang Perempuan Pembawa Bendera Perang di Masa Rasulullah
  • Faedah Shalat sunnat isyraq
  • Jauhilah 4 Sifat Pemicu Dosa Ini
  • Cinta Allah Abadi dan Tak Egois
  • Ekslusifisme Legislator
  • Harga BBM Naik Turun, Bagaimana Sembako
  • Merubah Paradigma Perempuan Melayu.
  • PKS Petani-Pekebun
  •  
     
     
     
     
    Copyright © 2014-2016
    PT. Surya Cahaya Indonesia,
    All Rights Reserved