Senin, 31/08/20
 
Waktu Shalat Subuh dan Isya Perlu Dievaluasi

Ridwan Alkalam | Religi
Senin, 21/08/2017 - 22:53:28 WIB

TERKAIT:
   
 
JAKARTA (riaueksis.com) - Islamic Science Research Network (ISRN) dari Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (UHAMKA) menilai awal waktu Subuh dan Isya perlu dievaluasi.

ISRN yang telah melakukan penelitian selama berbulan-bulan menemukan waktu Subuh yang biasa dipraktikan masyarakat Indonesia lebih awal dari waktu seharusnya. Begitu pula waktu Isya, diketahui lebih telat dari waktu seharusnya.

ISRN menyampaikan fakta saintifik hasil penelitiannya ini di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta - Jakarta Islamic Centre (PPPIJ-JIC) pada Senin (21/8/2017). Puluhan orang dari kalangan akademisi, ahli falakiah, peneliti, pengurus masjid dan majelis taklim menyimak paparan dari ISRN.

Ketua ISRN dari UHAMKA, Prof Tono Saksono mengatakan, alat yang digunakan dalam penelitiannya adalah Sky Quality Meter (SQM). Alat ini digunakan untuk mengukur magnitudo. Alat untuk mengukur besaran yang menunjukan tingkat keterangan sebuah benda atau objek. ISRN juga menggunakan All Sky Camera, sebuah kamera cembung yang dapat memotret 360 derajat.

Dua alat tersebut digunakan untuk mengumpulkan data guna mengetahui kedatangan waktu fajar dan waktu Subuh. Data yang dikumpulkan alat tersebut diproses dengan bantuan komputer, kemudian disesuaikan dengan ayat-ayat Alquran dan hadis.

"Kami melakukan penelitian ini sudah tujuh bulan, kami menyadari baru-baru ini, waktu Subuh ternyata lebih cepat dari seharusnya," kata Prof Tono, Senin (21/8/2017).

Ia menerangkan, waktu fajar atau waktu Subuh ternyata terjadi pada rata-rata dip 12,9 derajat. Artinya, posisi Matahari berada di bawah ufuk pada posisi dip 12,9 derajat, itulah waktu Subuh yang seharusnya. Menurutnya, pada kondisi ini cahaya Matahari sudah mulai nampak.

Tapi, masyarakat Indonesia pada umumnya memulai Azan Shubuh saat posisi Matahari masih di 20 derajat di bawah ufuk. Dengan demikian, lanjut Prof Tono, waktu Shubuh di Indonesia lebih cepat dan selisihnya sampai dip 7,1 derajat.

Berdasarkan kecepatan rotasi bumi, waktu yang dibutuhkan dari dip ke dip sekitar 4 menit. Kalau waktu Subuh lebih awal sampai dip 7,1 derajat, maka waktu Shubuh lebih awal 28 menit.  "Waktu Shubuh berarti 7,1 derajat lebih awal, jadi lebih awal 28 menit," ujarnya.

Berdasarkan hasil penelitian ISRN, waktu Shalat Isya pun dinilai lebih lambat dari waktu seharusnya. Dikhawatirkan, orang-orang masih ada yang melaksanakan Shalat Magrib padahal sebenarnya sudah memasuki waktu Isya.

Prof Tono yang juga anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan, berdasar hasil penelitian selama berbulan-bulan menggunakan teknologi modern, waktu Isya di Indonesia yang sering dipraktikan masyarakat pada umumnya saat posisi Matahari berada di dip 18 derajat di bawah ufuk. Padahal, seharusnya waktu Isya dimulai pada saat posisi Matahari berada di dip 11,1 derajat di bawah ufuk.

Dengan demikian, dijelaskan dia, waktu Isya lebih lambat dip 6,9 derajat dari waktu seharusnya. "Artinya Isyanya terlalu lambat kira-kira sekitar 28 menit. Sebetulnya untuk Isya tidak apa-apa terlalu lambat, tapi Maghribnya dikhawatirkan orang mengira itu masih waktu Maghrib, padahal sebetulnya sudah tidak boleh karena itu sudah masuk waktu Isya, itu persoalannya," jelasnya.

Ia juga menyampaikan, hasil penelitian ISRN ingin disosialisasikan kepada masyarakat luas. Sebab, melaksanakan shalat harus pada waktunya sesuai perintah Allah.

Penetapan Sejak 1908 Silam
Sementara itu ulama asal Malang Jawa Timur, KH Agus Hasan Bashori, menuturkan, jika ditelusuri kembali sejarahnya, penetapan waktu Subuh yang terdapat pada kalender-kalender dunia sekarang ini sebenarnya dibuat pertama kali oleh dua ahli astronomi asal Inggris, Lehman dan Melthe, pada 1908-1909 silam. Ketika itu, mereka menetapkan waktu Subuh dengan kriteria matahari dalam posisi minus 19 derajat di bawah ufuk.

Celakanya, penetapan waktu Subuh oleh Lehman dan Melthe tersebut kemudian diakui pula oleh masyarakat Mesir pada masa itu. Padahal, kriteria yang dibuat oleh kedua ahli astronomi itu menyelisihi kriteria yang dipakai Kesultanan Turki Utsmaniyah, yang menetapkan jadwal shalat Subuh dengan berpatokan pada waktu terbitnya fajar shadiq.

Bahkan, penetapan waktu Subuh oleh Lehman dan Melthe juga berseberangan dengan ilmu astronomi yang mematok sudut minus 18 derajat di bawah ufuk sebagai awal munculnya hamburan cahaya di atas langit (fajar kadzib). Dalam menetapkan kriteria waktu Subuh, kata Agus, Lehman dan Melthe tidak menggunakan dalil-dalil syar'i (Alquran dan hadis) sebagai landasannya. Itu karena mereka berdua memang bukan Muslim.

"Akibatnya, waktu Subuh yang mereka tetapkan menyelisihi fajar shadiq yang semestinya terjadi ketika matahari dalam posisi sekitar minus 15 derajat di bawah ufuk," tuturnya, Senin (21/8/2017).

Fajar shadiq adalah sebuah cahaya yang terlihat pada waktu dini hari sebagai batas antara akhir malam dan permulaan pagi. Sementara, fajar kadzib adalah sebuah cahaya yang agak terang yang terlihat memanjang dan mengarah ke atas (secara vertikal) di tengah-tengah langit, berbentuk seperti ekor serigala.

Meskipun, fajar kadzib telah berakhir, umat Islam belum bisa melaksanakan shalat Subuh karena cahaya putih fajar shadiq belum lagi menyebar di ufuk timur. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW, "Bukanlah fajar cahaya yang meninggi di ufuk, tetapi yang membentang berwarna merah (fajar putih kemerah-merahan)," (HR Ahmad, dari Qais ibn Thalq dari ayahnya).

Imam Abu Mijlaz (Lahiq ibn Humaid as-Sadusi al-Bashri, wafat pada 101 H), seorang tabiin yang meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari RA, Hasan ibn Ali RA, Muawiyah ibn Abi Sufyan RA, dan Imran ibn Hushain RA berkata, "Cahaya yang menjulang (meninggi) di langit bukanlah Subuh, melainkan itu adalah fajar kadzib. Sesungguhnya subuh itu adalah apabila ufuk menjadi terbuka (tersingkap) berwarna putih.

"Dengan demikian, tanda awal waktu shalat Subuh adalah fajar shadiq, bukan fajar kadzib, apalagi fajar yang ditetapkan Lehman dan Melthe," kata Agus.

Sepanjang 2009-2015, Agus telah melakukan penelitian terhadap penerapan waktu Subuh di berbagai daerah di Tanah Air. Mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Hasilnya, kata dia, memang terdapat perbedaan waktu yang cukup signifikan antara jadwal shalat Subuh yang terdapat di kalender Indonesia dan datangnya fajar shadiq.

"Menurut hasil observasi dan penelitian kami, jadwal shalat Subuh yang menjadi acuan masyarakat Indonesia selama ini rata-rata lebih awal sekitar 20 menit dari kemunculan fajar shadiq," ujar anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Malang periode 2012-2017 itu lagi.

Muhammadiyah Minta tak Dipublikasi

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Yunahar Ilyas meminta agar penelitian atau kajian tentang penentuan awal shalat subuh tidak dipublikasikan dulu oleh Islamic Science Research Network (ISRN) dari Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (UHAMKA). Pasalnya, hal itu akan membuat kegaduhan di kalangan maayarakat.

Menurut dia, penelitian tersebut baru menggunakan pendekatan astronomi saja, sehingga masih membutuhkan pendekatan fikih dan lain-lain. Karena itu, PP Muhammadiyah belum melakukan kajian terhadap awal waktu subuh tersebut.

"Kita minta pada UHAMKA untuk tidak dipublikasikan dulu karena ini masih kajian-kajian awal yang masih sangat dini. Jangan dipublikasikan dulu saya sudah minta ke rektornya karena ini sangat sensitif," ujarnya.

Yunahar melihat, masyarakat Indonesia sangat mudah percaya, sehingga jika dipublikasikan akan ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Karena itu, menurut dia, belum waktunya untuk dipublikasikan.

Namun, jika kajian awal waktu subuh itu hanya menjadi studi bagi ilmuan, maka tidak menjadi masalah karena nantinya pasti akan diuji terlebih dahulu.

"Di Majelis Tarjih juga belum dibahas. Muhammadiyah itu untuk hal seperti itu harus tingkat nasional. Harus musyawarah nasional. Jadi kita tidak melarang kajian-kajian itu, silakan pendekatan sains. Tetapi kita minta supaya tidak dipublikasikan dulu jangan sampai menimbulkan kegaduhan," katanya. (wan)




Dikutip dari: republika.co.id







Berita Lainnya :
 
  • Hadiri Halal Bi Halal PDI-Perjuangan, Bupati Kasmarni: Tahniah Kepada Septian Nugraha dan M Alga Viqky Azmi atas Penghargaan Suara Pileg Terbanyak se-Provinsi Riau
  • Hasilkan Cuan Lebih Banyak, Budi Putra : Pengurus SMSI Riau Harus Siap Jadi Konten Kreator
  • Riau SMSI Provinsi Riau Sambangi BP Batam, Muhammad Rudi: Mari Dukung Pembangunan
  • Ibu Pj Gubernur Bersama ASPEKUR Bagikan 1.000 Paket Makanan Sehat+Susu Dukung Program Tekan Stunting
  • Dua Pemilik dan 2 Orang Calo Senpi Ilegal Diringkus Polda Riau
  • PHR Gelar Talk Show Bertajuk Tuan Dukung Puan, Bentuk Komitmen Dukung Kesetaraan Gender*
  • Meraih Cuan dari SEO Media Siber
  • Hadiri Pelantikan PAW Anggota DPRD, Bupati Bengkalis Tegaskan Jalankan Tugas dan Peran Sebagai Wakil Rakyat
  • Dukung Pro Justitia , Kantor Imigrasi Pekanbaru Serahkan Tersangka WNA Kasus Pelanggaran Tindak Pidana Keimigrasian Pada Kejaksan
  •  
     
     
     
     
    Copyright © 2014-2016
    PT. Surya Cahaya Indonesia,
    All Rights Reserved